DALAM kehidupan dunia ini, tak seorang pun yang tak pernah marah. Marah adalah fitrah manusia. Tetapi tidak semua marah itu buruk atau tercela. Marah ketika kebenaran dilecehkan adalah marah yang produktif bahkan wajib.
Sayyidina Ali berkata, “Rasulullah tidak pernah marah dalam urusan dunia. Jika beliau marah oleh kebenaran (yang dilecehkan), maka tak seorang pun mengenalinya dan berani berdiri karena amarahnya hingga beliau memperoleh pertolongan dari Allah.” (HR. Thabrani).
Marah dalam konteks ini pernah juga terjadi pada riwayat sahabat. Suatu ketika Abu Bakar sangat marah kepada Umar bin Khathab yang membujuknya untuk membatalkan pengangkatan Usamah bin Zaid sebagai panglima perang. Tetapi, karena pengangkatan Usamah itu dilakukan oleh Nabi maka Abu Bakar tidak mau menerima usulan Umar.
Dan, ketika Umar mendesak terus menerus, Abu Bakar spontan melompat dan memegang jenggot Umar seraya berkata, “Apakah engkau menyuruhku untuk mengubah keputusan Rasulullah?” Marah tetap perlu, tetapi konteksnya adalah dalam iman dan kebenaran.
Marah yang tercela itu adalah marah yang dilampiaskan secara berlebihan kemudian kaitannya hanya karena hal-hal yang tidak begitu penting. Seperti marah karena istri terlambat menyediakan makan, atau murid tidak bisa mengerjakan tugas sesuai keinginan guru, dan lain sebagainya.
Seorang teman pernah bertutur bahwa dirinya tidak pernah marah kepada anak-anak hanya soal kebendaan. Seperti piring pecah, motor rusak karena jatuh, atau apapun. Tetapi ia sangat marah manakala ada di antara anak-anaknya yang berkata kotor dan menyakiti orang lain.
Betapa banyak di sekeliling kita orang marah di luar kontek bahkan terkadang sangat berlebihan?. “Sudah sarjana, tapi packing (mengepak barang) saja tidak bisa?” demikian salah satu contoh sikap berlebih-lebihan dalam kata-kata saat marah.
Jalan Setan
Marah dalam konteks keduniawian menjadikan setan semakin mudah menguasai hati seseorang. Karena marah yang bukan karena kebenaran datangnya dari setan.
Sekali waktu Aisyah radhiyallahu anha pernah marah. Lalu Rasulullah bertanya, “Setanmu telah merasukimu?” Aisyah balik bertanya, “Apakah engkau juga punya setan, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ya, saya juga. Tetapi saya senantiasa berdoa kepada Allah dan Ia menolongku sehingga aku pun selamat dan tidak memerintah kecuali hanya kebaikan.” (HR. Muslim).
Pantas jika kemudian Imam Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin berkata bahwa marah adalah api yang bersemayam dalam hati yang dapat menimbulkan kesombongan, yang boleh jadi, kesombongan itu berasal dari api yang digunakan untuk menciptakan setan.
Senada dengan Imam Ghazali, Imam ibn Hajar Al-Asqalani sebagaimana dikutip oleh Dr. Anas Ahmad Karzon dalam bukunya Tazkiyatun Nafs mengatakan bahwa marah dalam hal keduniawian yang dilampiaskan secara berlebihan akan mendatangkan kesombongan yang berujung pada kemarahan, dendam, dan dengki. Sementara itu, dampak bagi lisan, kemarahan akan mendorong seseorang berkata kotor dan murahan.
Maka apabila ada sebuah kejadian yang membuat kita marah, sementara diri dalam kebenaran dan memegang kendali permasalahan, sebaiknya tenangkan diri, diam dan perbanyak istighfar. Jika tidak, maka nafsu akan menguasai hati dan boleh jadi, lisan akan berkata-kata kotor dan murahan yang bisa menimbulkan permusuhan dan pada akhirnya akan sangat disesali hingga akhir hayat.
Maka Rasulullah bersabda bahwa, “Orang yang kuat adalah orang yang sanggup mengendalikan hawa nafsunya ketika marah.” (HR. Muslim).
Oleh karena itu, ketika ada sahabat yang meminta wasiat kepada Nabi, belliau bersabda, “Jangan marah, jangan marah, dan jangan marah.” (HR. Bukhari).
Tingkatan Marah
Dalam Ihya Ulumuddin Imam Ghazali membagi marah dalam tiga tingkatan. Pertama, manusia yang tafrith (serba kekurangan), yaitu manusia yang kehilangan potensi amarah dan emosinya sama sekali (sehingga tidak dapat marah).
Kelompok manusia yang tafrith ini adalah tercela, dan inilah yang dimaksud dalam ungkapan Imam Syafi’i. “Barangsiapa yang sengaja dibuat marah, namun tidak marah maka ia adalah keledai”.
Kedua, manusia yang memiliki emosi seimbang, tidak terlalu lemah dan tidak terlalu ekstrim amarahnya. Sifat seperti inilah yang disematkan Allah kepada para sahabat, sebagaimana tersirat dalam firman-Nya;
مُّحَمَّدٌ رَّسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاء عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاء بَيْنَهُمْ
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.” (QS. 48: 29).
Ketiga, manusia yang ifrath (serba berlebihan), yaitu manusia yang amarahnya melampaui batas sehingga keluar dari kendali akal dan agama. Orang semacam ini tidak dapat berfikir jernih, bahkan terkesan ia seperti orang terpaksa. Selalu berkata-kata kotor dan menebar fitnah serta kebohongan-kebohongan.
Artinya, kalau pun harus marah, maka marahlah dengan wajar, tidak berlebihan dan jangan sampai mendorong lisan berkata buruk, apalagi disertai tindakan ekstrem yang diluar batas akal dan agama. Karena marah termasuk hal yang positif selama tidak keluar dari kaidah iman dan kebenaran.
Meredakan Kemarahan
Lantas, bagaimana jika suatu saat, tiba-tiba muncul situasi yang diluar dugaan dan memancing emosi untuk marah? Nabi Muhammad shallallahu alayhi wasallam telah memberikan tips yang termaktub dalam sebuah haditsnya.
“Marah adalah (laksana) batu yang dinyalakan dalam hati. Tidakkah kalian melihat menggelembungnya urat leher dan memerahnya kedua mata orang yang sedang marah? Jika salah satu dari kalian mengalami kondisi seperti itu, maka jika sedang berdiri, duduklah, dan jika sedang duduk, berbaringlah. Jika amarah itu belum hilang juga, maka berwudhulah dengan air dingin dan mandilah karena api tidak dapat dipadamkan kecuali dengan air.” (HR.Tirmidzi).
Maksudnya, kita tidak boleh terpancing emosi dan berbicara atau bertindak atas dorongan kemarahan. Segeralah ubah posisi tubuh untuk menenangkan hati dan pikiran. Jika ternyata posisi tubuh tidak mampu mengubah gejolak hati, segeralah berwudhu atau mandi. Dengan begitu Insya Allah kita dapat mengontrol hati kita dan terhindar dari perbuatan bodoh, sehingga bisa lebih bijaksana dan lebih siap untuk memberi maaf.
Apabila kemudian memberi maaf menjadi pilihan utama, sungguh kita termasuk hamba yang berhak atas cinta dari Allah Subhanahu Wata’ala. Seperti yang termaktub dalam firman-Nya,
الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاء وَالضَّرَّاء وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“....dan orang-orang yang menahan marahnya dan memaafkan manusia. Dan sungguh, Allah mencintai orang-orang yang ihsan.” (QS.Ali Imron [3]: 134).
Dengan demikian, sudah seharusnya setiap Muslim tidak menjadi objek nafsu, sehingga hati dan akal pikirannya dipermainkan oleh kesombongan yang berakibat pada kemarahan, permusuhan dan dendam. Tetapi sebaliknya, menghidupkan hati dengan gemar memaafkan. Karena siapa memaafkan ia pasti dicintai oleh Allah Subhanahu Wata’ala. Tidakkah kita bangga jika Allah mencintai kita?
Kata Nabi, "Sebaik-baik orang adalah yang tidak mudah marah dan cepat memaafkan, sedangkan seburuk-buruk orang adalah yang cepat marah dan lambat memaafkan." (HR.Ahmad).*/Imam Nawawi
Sumber :Hidayatullah.com