Jika kita masuk Islam atau sudah menganut Islam sejak lama, maka prinsip
yang harus dipegang adalah masuklah Islam secara kesuluruhan, jangan
hanya sekedar membawa status Islam di KTP, shalat tidak pernah dijalani,
juga masih terus melanggengkan tradisi syirik, misalnya.
Allah Ta’ala memerintahkan kepada kita untuk masuk ke dalam Islam secara kaaffah sebagaimana disebutkan dalam ayat,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا
تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam
secara keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan.
Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al Baqarah: 208).
Ayat ini menerangkan -kata Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya-
perintah pada para hamba Allah yang beriman yang membenarkan risalah
Rasul-Nya untuk mengambil (mengamalkan) seluruh ajaran Islam semampunya,
termasuk menjalankan setiap perintah dan menjauhi setiap larangan.
Yang dimaksud ‘udkhulu fis silmi’, masuklah dalam Islam.
Demikian kata Al ‘Aufi dari Ibnu ‘Abbas dan lainnya. Sedangkan Robi’ bin
Anas katakan bahwa maksudnya adalah laksanakanlah ketaatan.
Adapun maksud ‘kaaffah’ dalam ayat tersebut -sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas dan selainnya-‘ adalah keseluruhan. Mujahid mengatakan, “Lakukanlah seluruh amalan dan berbagai bentuk kebajikan.”
Ibnu Katsir menegaskan bahwa maknanya adalah lakukan seluruh ajaran
Islam, yaitu berbagai cabang iman dan berbagai macam syari’at Islam.
Ibnu ‘Abbas juga mengatakan mengenai ayat tersebut,
ادخلوا في شرائع دين محمد صلى الله عليه وسلم ولا تَدَعَوا منها شيئًا وحسبكم بالإيمان بالتوراة وما فيها.
“Masuklah dalam syai’at Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, jangan tinggalkan ajarannya sedikit pun, maka itu sudah mencukupkan kalian dari Taurat dan ajaran di dalamnya.”
‘Ikrimah mengatakan bahwa ayat di atas itu turun pada segolongan
orang yang baru masuk Islam dari kalangan Yahudi dan lainnya. Mereka
adalah seperti ‘Abdullah bin Salaam, Tsa’labah, Asad bin ‘Ubaid di mana
mereka meminta izin kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
dibolehkan membaca taurat di malam hari, maka Allah memerintahkan untuk
menyibukkan diri dalam menjalankan syari’at Islam saja sehingga bisa
melupakan ajaran yang lainnya. Keterangan ini dan sebelumnya disarikan
dari Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim karya Ibnu Katsir mengenai tafsir ayat
yang kita kaji.
Ketika menjelaskan ayat di atas, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah
berkata, “Laksanakanlah seluruh ajaran Islam, jangan tinggalkan ajaran
Islam yang ada. Jangan sampai menjadikan hawa nafsu sebagai tuan yang
dituruti. Artinya, jika suatu ajaran bersesuaian dengan hawa nafsu,
barulah dilaksanakan dan jika tidak, maka ditinggalkan,. Yang mesti
dilakukan adalah hawa nafsu yang tunduk pada ajaran syari’at dan
melakukan ajaran kebaikan sesuai kemampuan. Jika tidak mampu menggapai
kebaikan tersebut, maka dengan niatan saja sudah bisa mendapatkan pahala
kebaikan.” Lihat Taisir Al Karimir Rahman karya Syaikh As Sa’di tentang tafsiran ayat di atas.
Pelajaran dari ayat di atas, jika syari’at Islam memerintahkan untuk meninggalkan ajaran dan tradisi syirik, maka kita sami’na wa atho’na.
Jangan karena alasan mempertahankan budaya, akhirnya tradisi yang
dimurkai Allah tersebut terus dilariskan, seperti kita lihat saat ini
masih saja laris manis tradisi ruwatan, sedekah laut, minta keberkahan
dengan menggantung jimat dan lainnya yang dijalankan oleh orang yang
‘ngaku Islam’. Baca artikel: Bahaya Jika Kita Berbuat Syirik.
Jika Islam memerintahkan untuk melaksanakan ibadah badan yang mulia
seperti shalat dan puasa, maka kita terus berusaha menjaganya. Baca
artikel: Meninggalkan Shalat Bisa Membuat Kafir.
Jika ajaran Islam memerintahkan kita bersedekah yang wajib dengan
zakat pada harta kita, maka kita pun manut dan menjalankannya, tanpa ada
rasa kikir dan pelit. Baca artikel: Akibat Enggan Menunaikan Zakat.
Juga ketika Islam memerintahkan beribadah harus sesuai dengan tuntunan Rasul -shallallahu 'alaihi wa sallam-, maka ikutilah, jangan membuat ajaran yang tidak ada tuntunan, atau malah sering berdalil, "Yang penting niatannya baik".
Padahal yang baik menurut kita belum tentu baik menurut Allah dan
Rasul-Nya. Jadi berprinsiplah dalam beribadah harus dengan 'dalil'. Baca
artikel: Mengenal Bid'ah , Dampak Buruk Bid'ah.
Begitu pula ketika ajaran Islam memerintahkan untuk berlepas diri
dari ajaran orang kafir yang berkaitan dengan perayaan mereka, maka kita
pun tidak boleh menghadiri, memeriahkan atau sekedar mengucapkan
selamat. Baca artikel: Lakum Diinukum wa Liya Diin & Seorang Mukmin Tidak Menghadiri Perayaan Non Muslim.
Oleh karenanya, jangan jadi Islam yang separuh-paruh, alias Islam KTP. Masuklah Islam secara kaaffah, dengan menjalankan seluruh syari’at Islam.