News Update :
Hot News »
Bagikan kepada teman!

4 Argument Pendukung Peringatan Maulid & Bantahannya

Oleh: Abu Misykah Tamam

Al-Hamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.

Klaim cinta Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam harus dibuktikan dengan beriman kepada-Nya, mengikuti sunnah-sunnahnya dan memperjuangkan ajarannya. Bukan dengan membuat-buat bentuk peribadatan yang tak pernah diajarkan oleh baginda yang mulia Shallallahu 'Alaihi Wasallam. [Baca: Menjadi Pecinta Rasulullah Sejati]

Jika ditilik dari sisi historis, perayaan maulid (ulang tahun kelahiran) Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam lebih dekat kepada tradisi Syi’ah. Di mana mereka sangat getol menyelisihi para sahabat Nabi & pengikut mereka dengan baik (Ahlus Sunnah wal Jamaah). Di mana dalam prinsip ajaran Ahlus Sunnah segala bentuk kebid’ahan dalam agama harus dijauhi. Sedangkan Syi’ah memiliki prinsip ajaran untuk menyelisihi Ahlus Sunnah.

Pelopor Maulid

Pelopor pertama peringatan maulid Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah Bani Ubaid al-Qaddaah atau yang lebih dikenal dengan al-Fathimiyyun atau Bani Fathimiyyah pada pertengahan abad ke empat Hijriyah, setelah berhasil memindahkan dinasti Fathimiyah dari Maroko ke Mesir pada tahun 362 H.

Perayaan maulid diadakan untuk menarik simpati masyarakat yang mayoritasnya berada dalam kondisi ekonomi yang sangat terpuruk untuk mendukung kekuasaannya dan masuk ke dalam mazhab bathiniyahnya yang sangat menyimpang dari akidah, bahkan bertentangan dengan Islam.

Pakar sejarah yang bernama Al Maqrizy menjelaskan bahwa begitu banyak perayaan yang dilakukan oleh Fatimiyyun dalam setahun.

Beliau menyebutkan kurang lebih 25 perayaan yang rutin dilakukan setiap tahun dalam masa kekuasaannya, termasuk di antaranya adalah peringatan maulid Nabi. Tidak hanya perayaan-perayaan Islam tapi lebih parah lagi, mereka juga mengadakan peringatan hari raya orang-orang Majusi dan Nashrani yaitu hari Nauruz (tahun baru Persia), hari Al Ghottos, hari Milad (Natal), dan hari Khamisul ‘Adas (perayaan tiga hari sebelum Paskah).

Fakta sejarah peringatan maulid yang tidak ditemukan pada masa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan masa tiga generasi pertama Islam yang disebut sebagai generasi terbaik umat ini, menyebabkan banyak di antara ulama yang mengingkarinya dan memasukkannya ke dalam bid'ah haram.

Tak dipungkiri, di antara ulama ada yang menganggapnya sebagai bid'ah hasanah (inovasi yang baik), selama tidak dibarengi dengan kemungkaran. Pendapat ini diwakili antara lain oleh Ibnu Hajar al Atsqalani dan as-Suyuti. Keduanya mengatakan bahwa status hukum maulid Nabi adalah bid’ah mahmudah (bid’ah terpuji). Tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, tetapi keberadaannya membawa maslahat walaupun juga tidak lepas dari berbagai mudharat.

Keabsahan peringatan maulid Nabi bagi mereka disandarkan pada dalil umum yang tidak berhubungan langsung dengan titik permasalahan, sedangkan para ulama yang menentangnya membangun argumentasinya melalui pendekatan normatif tekstual yang tidak ditemukan baik secara tersurat maupun secara tersirat dalam Al-Quran dan al-Sunnah, dan diperkuat dengan kaedah umum dalam ibadah yang menuntut adanya dalil spesifik yang menunjang disyariatkannya suatu ibadah.

Dalil Pendukung Maulid

Para pendukung maulid berusaha mencari dalil untuk melegitimasi bolehnya peringatan maulid tersebut, antara lain:

Pertama: Sikap Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam ketika mendapatkan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Puasa tersebut adalah ungkapan syukur kepada Allah 'Azza wa Jalla atas keselamatan Nabi Musa dari kejaran Fir’aun. Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam pun menyerukan untuk berpuasa pada hari tersebut.

Peringatan maulid Nabi, menurut Ibn Hajar dan as-Suyuti merupakan ungkapan syukur atas diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam ke muka bumi.

Hujjah ini ditolak oleh ulama lainnya. Mereka menganggapnya sebagai alasan yang dipaksakan, mengingat dasar suatu ibadah adalah adanya dalil yang memerintahkannya dan mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, bukan pada logika, analogi dan istihsan.

Puasa 'Asyura termasuk sunnah yang telah dipraktikkan dan diserukan oleh Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, sedangkan peringatan maulid tidak pernah dilakukan apalagi diserukan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Sebaliknya, beliau telah mewanti-wanti ummatnya dari membuat-buat bid'ah, seperti dalam sabdanya, "Jauhilah amalan yang tidak aku contohkan (bid`ah), karena setiap bid`ah sesat." (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi).

Benar bahwa kita dituntut untuk senantiasa mensyukuri nikmat Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan nikmat terbesar yang tercurah pada umat ini adalah diutusnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam sebagai seorang rasul, bukan saat dilahirkannya. Karenanya, Al Qur'an menyebut pengutusan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sebagai nikmat,

لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آَيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

"Sungguh Allah telah memberikan karunia kepada orang-orang beriman ketika Allah mengutus kepada mereka seorang Rasul di tengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri." (QS. Ali Imran: 164)

Ayat ini sama sekali tidak menyinggung kelahiran beliau dan menyebutnya sebagai nikmat. Seandainya peringatan tersebut dibolehkan, seharusnya yang diperingati adalah hari ketika beliau dibangkitkan menjadi nabi, bukan hari kelahirannya. Lagi pula, status Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam yang mensyariatkan puasa Asyura' berbeda dengan status umatnya. Beliau adalah musyarri' (pembuat syariat), adapun umatnya hanya muttabi' (pengikut), sehingga tak dapat disamakan dan dianalogikan dengan beliau.

Dan sekiranya peringatan maulid merupakan bentuk syukur kepada Allah, tentu tiga generasi terbaik, serta para imam mazhab yang empat tidak ketinggalan untuk melakukan peringatan tersebut, sebab mereka adalah orang-orang yang pandai bersyukur, sangat cinta pada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan sangat antusias mengerjakan berbagai kebaikan.

Hal yang juga mengundang tanya, mengapa ungkapan rasa syukur, penghormatan dan pengagungan pada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam hanya sekali dalam setahun, 12 Rabi’ul Awwal saja? Bukankah bersyukur kepada Allah, mengagungkan dan mencintai Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dituntut setiap saat dengan menaati dan selalu ittiba’ pada sunnahnya?

Kedua: Nabi memeringati hari kelahirannya dengan berpuasa.

Sebagian beralasan dengan puasa seninnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam yang merupakan hari kelahirannya. Ketika beliau ditanya mengenai puasa Senin, beliau pun menjawab, “Hari tersebut adalah hari kelahiranku, hari aku diangkat sebagai Rasul atau pertama kali aku menerima wahyu.” (HR. Muslim). Ini menunjukkan bolehnya memeringati hari kelahirannya.

Alasan ini juga tidak dapat diterima, karena beliau tidak pernah puasa pada tanggal yang diklaim sebagai kelahirannya, 12 Rabi'ul Awwal. Yang beliau lakukan adalah puasa pada hari Senin. Seharusnya kalau ingin mengenang hari kelahiran Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dengan dalil di atas, maka perayaan maulid diadakan tiap pekan, bukan sekali setahun.

Selain itu, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam juga tidak berpuasa hanya pada hari Senin setiap pekan, tapi juga hari Kamis. Alasan beliau, "Keseluruhan amalan diperhadapkan kepada Allah pada hari Senin dan Kamis sehingga aku senang amalanku diperhadapkan kepada Allah sedang aku dalam keadaan berpuasa." (HR. Ahmad dan at-Tirmidzi).

Sehingga berdalih dengan puasa Senin tanpa hari Kamis termasuk pemaksaan dan dibuat-buat. Dan kalau alasan tersebut dapat diterima, mestinya peringatannya dilakukan dalam bentuk puasa, bukan berfoya-foya dan makan-makan.

Ketiga: Peringatan maulid Nabi dianggap sebagai bid’ah hasanah (bid’ah yang baik). Anggapan ini lahir dari klasifikasi sebagian ulama terhadap bid'ah menjadi bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah sayyi’ah (jelek) atau dhalalah (sesat).

Alasan ini dibantah oleh sebagian ulama bahwa peringatan maulid Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam tidak dapat diterima sebagai bid'ah hasanah, karena dalam hadits-hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam tidak dikenal sama sekali adanya bid’ah hasanah. Bahkan yang dikatakan oleh Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan diyakini oleh sahabat adalah setiap bid’ah sesat.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim).

Ibnu Mas’ud radliyallah 'anhu berkata, “Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wasallam), janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat.” (HR. ath-Thabrani dan al Haitsami).

Abdullah bin ‘Umar radliyallah 'anhu menyatakan, “Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.” (Al Ibanah al Kubra libni Baththah, 1/219).

Keempat: Peringatan Maulid merupakan salah satu sarana untuk lebih mengenal sosok Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam.

Tidak ada perselisihan di kalangan ulama tentang pentingnya mengenal sosok Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Hanya saja, sebagian di antara mereka tidak menerima suatu bid'ah dipoles menjadi sarana kebaikan, karena tujuan yang baik tidak dapat dijadikan alasan untuk menghalalkan segala cara. Lagi pula, mengenal sosok beliau tidaklah pantas dibatasi oleh bulan atau tanggal tertentu. Jika ia dibatasi oleh waktu tertentu, apalagi dengan cara tertentu pula, maka sudah masuk ke dalam lingkup bid’ah. Lebih dari itu, upaya mengenal sosok beliau lewat peringatan maulid merupakan salah satu bentuk tasyabbuh (meniru-niru) orang-orang Nashrani yang merayakan kelahiran Nabi Isa 'alaihis salam melalui natalan. Padahal Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ, فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud serta dishahihkan oleh Ibnu Hibban).

Mengenal sosok Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dengan membaca dan mengkaji sirah, biografi dan sunnah beliau seharusnya dilakukan sepanjang waktu, sebagaimana para sahabat mengajarkannya kepada anak-anak mereka setiap waktu.

Seharusnya cinta Nabi dibuktikan dengan meneladani dan mengikuti sunnah-sunnah beliau, bukan dengan menyelisihi perintah atau melakukan sesuatu yang tidak ada tuntunannya. Wallahu A’lam

Sumber :http://www.voa-islam.com
komentar | | Read More...

Kapan Tanggal Lahir Nabi Muhammad?

Kapan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam lahir? Apakah benar tanggal 12 Rabi’ul Awwal?

Kita sudah paham bahwa Hari kelahiran Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- adalah hari Senin. Dari Abu Qotadah Al Anshori radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya mengenai puasa pada hari Senin, lantas beliau menjawab,

ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَىَّ فِيهِ

“Hari tersebut adalah hari aku dilahirkan, hari aku diutus atau diturunkannya wahyu untukku.” (HR. Muslim no. 1162)

Sedangkan tahun kelahiran beliau adalah pada tahun Gajah. Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad berkata,

لا خلاف أنه ولد صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بجوف مكّة ، وأن مولده كان عامَ الفيل .

“Tidak ada khilaf di antara para ulama bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lahir di kota Mekkah. Dan kelahirannya adalah di tahun gajah.”
Kapan Tanggal dan Bulan Lahir Nabi Muhammad?

Sedangkan mengenai tanggal dan bulan lahirnya Nabi kita -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, hal ini masih diperselisihkan. Ada pendapat yang mengatakan bahwa beliau lahir tanggal 8 Rabi’ul Awwal, seperti pendapat Ibnu Hazm. Ada pula yang mengatakan tanggal 10 Rabi’ul Awwal. Dan yang masyhur menurut jumhur (mayoritas) ulama adalah pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal. Selain itu ada yang mengatakan, beliau dilahirkan pada bulan Ramadhan, ada pula yang mengatakan pada bulan Shafar. Sedangkan ahli hisab dan falak meneliti bahwa hari Senin, hari lahir beliau bertepatan dengan 9 Rabi’ul Awwal. Dan inilah yang dinilai lebih tepat.

Jika kita meneliti lebih jauh, ternyata yang pas dengan tanggal 12 Rabi’ul Awwal adalah hari kematian Nabi ­-shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Meski mengenai kapan beliau meninggal pun masih diperselisihkan tanggalnya. Namun jumhur ulama, beliau meninggal dunia pada tanggal 12 dari bulan Rabi’ul Awwal, dan inilah yang dinilai lebih tepat.

Jika demikian, yang mau diperingati pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal apakah kematian beliau?! Wallahul musta’an.

Perselisihan di atas juga menunjukkan bahwa perayaan Maulid Nabi tidaklah begitu urgent, karena seandainya itu ingin diperingati, maka seharusnya ada konsensus para ulama yang menetapkan tanggal pasti perayaannya biar umat tidak berselisih sebagaimana jelas untuk Idul Fithri tanggal 1 Syawal dan Idul Adha pada tanggal 10 Dzulhijjah.

Lagian para sahabat Nabi pun tidak pernah merayakan Maulid Nabi. Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali bin Abi Tholib tidak pernah memperingati maulid. Kalau seandainya perayaan Maulid Nabi dituntunkan tentu pula mereka akan lebih dahulu mencontohkan pada kita.

Law kaana khoiron lasabaqunaa ilaih, seandainya amalan tersebut baik tentu para sahabat akan mendahului kita untuk melakukannya.

Hanya Allah yang memberi petunjuk.

Referensi:
Fatwa Syaikh Sholih Al Munajjid no 147601
http://islamqa.info/ar/ref/147601

Disusun di Masjidil Haram, 9 Rabi’ul Awwal 1435 H menjelang shalat Shubuh
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal


komentar | | Read More...

4 Wanita mulia dimata Rasulullah

Banyak pandangan berumunculan bahwa wanita dalam Islam dianggap rendah atau tidak berguna. 

Nyatanya banyak wanita muslimah yang memiliki kedudukan tinggi di mata Allah dan mendapat tempat tersendiri dalam sejarah Islam. 

Wanita-wanita yang memiliki kedudukan tinggi di sisi Rasulullah maupun di mata Allah diantaranya:

1.Khadijah binti Khuwailid: Penopang Duka Khairul Anam

Khadijah binti Khuwailid bin Asad bin ‘Abdil ‘Uzza bin Qushay Al-Qurasyiyah Al-Asadiyah radhiyallahu’anha yang tercatat sebagai istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sekaligus wanita pertama yang membenarkan pengangkatan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai nabi dan beriman kepaa Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebelumnya dia dikenal sebagai seorang wanita yang menjaga kehormatan dirinya sehingga melekatlah sebutan ath-thaahirah pada dirinya. Khadijah radhiyallahu’anha adalah wanita pedagang yang mulia dan banyak harta. Kemuliaannya, kebaikannya, dan kesetiaannya senantiasa dikenang oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemuliaan itu telah dijanjikan melalui lisan mulia Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wanita ahli surga paling utama adalah Khadijah binti Khuwailid, Fathimah binti Muhammad Shallallahu ‘alahi wa sallam, Maryam binti ‘Imran, dan Asiyah binti Muzahim istri Fir’aun.”

2.Aisyah binti Abu Bakar: Belahan Jiwa Rasulullah

Dia seorang wanita yang cantik dan berkulit putih sehingga mendapat sebutan ‘al-Humaira’. Usianya baru menginjak enam tahun saat Rasulullah melaksanakan akad pernikahan dengannya. Wanita mulia yang diperlihatkan oleh Allah kepada Rasulullah alam wahyu berupa mimpi untuk memberitakan bahwa dia kelak akan menjadi istri beliau. Wanita mulia ini menjalani hari-harinya bersama Rasulullah hingga tiba saatnya beliau kembali ke hadapan Allah. Delapan belas tahun usianya, saat Rasulullah wafat di atas pangkuannya setelah hari-hari terakhir selama sakit beliau memilih untuk dirawat di tempatnya. Keutamaan dari sisi Allah banyak dimilikinya, hingga Rasulullah menyatakan, “Keutamaan ‘Aisyah atas seluruh wanita bagaikan keutamaan tsarid-tsarid atas seluruh makanan.”

3.Ummu Salamah: Wanita Jelita dalam Hidup Rasul yang Mulia

Hindun binti Abi Umayyah bin Al-Mughirah bin ‘Abdillah bin ‘Umar bin Makhzum bin Yaqzhah bin Murrah Al-Qurasyiyah Al-Makhzumiyyah. Dia lebih dikenal dengan kunyahnya, Ummu Salamah. Kecantikan dan kemuliaan berpadu dalam dirinya. Cinta, kesetiaan, dan ketaatannya pada pendamping hidupnya membawanya untuk memperoleh sebentuk doa. Doa yang berbuah keindahan hidup tiada tara, bersisian dengan hamba Rabb-nya yang paling mulia.

.Saudah: Ummul Mu’minin

Dia termasuk golongan wanita yang agung dan mulia nasabnya. Tergolong cerdas akalnya. Perawakannya tinggi dan besar. Dia adalah ummul mu’minin Saudah binti Zam’ah bin Qois bin Abdu Syams bin Abdu Wudd Al-’Amiriyyah. Ibunya adalah Syammusy binti Qois bin Zaid An-Najjariiyyah. Dia adalah wanita pertama yang dinikahi oleh Rasulullah SAW sepeninggal Khadijah, kemudian menjadi istri satu-satunya bagi Rasulullah SAW sampai Rasulullah SAW masuk berumah tangga dengan Aisyah. Saudah adalah tipe seorang istri yang menyenangkan suaminya dengan kesegaran candanya. Saudah terkenal juga dengan kezuhudannya dan diantara keutamaan Saudah adalah ketaatan dan kesetiaannya yang sangat kepada Rasulullah.
komentar | | Read More...

KEYAKINAN YANG SALAH TERHADAP BULAN MUHARRAM

KEYAKINAN YANG SALAH TERHADAP BULAN MUHARRAM

1. Anggapan Sial. Dalam pandangan masyarakat Jawa, Muharram (Suro) merupakan bulan keramat. Sehingga sebagian dari mereka tidak berani untuk menyelenggarkan suatu acara terutama hajatan dan pernikahan. Bila tidak di-indah-kan akan menimbulkan petaka dan kesengsaraan bagi mempelai berdua dalam mengarungi bahtera kehidupan. Hal ini diakui oleh seorang tokoh keraton Solo. Bahkan katanya, “Pernah ada yang menyelenggarakan pernikahan di bulan Suro (Muharram), dan ternyata tertimpa musibah!”. Maka kita lihat, bulan ini sepi dari acara pernikahan dan hajatan.

2. Nuansa Kesyirikan Yang Aneh. Selain itu, untuk memperoleh keselamatan, diadakan berbagai kegiatan “aneh”. Sebagian masyarakat mengadakan tirakatan pada malam 1 Suro , entah di tiap desa, atau tempat lain seperti puncak gunung, dst. Sebagiannya lagi mengadakan sadranan, berupa pembuatan nasi tumpeng yang dihiasi aneka lauk dan kembang lalu di larung (dihanyutkan) di laut selatan disertai kepala kerbau dengan keyakinan supaya sang ratu pantai selatan berkenan memberikan berkahnya dan tidak mengganggu. Peristiwa seperti ini dapat disaksikan di pesisir pantai selatan seperti Tulungagung, Cilacap dan lainnya.

Di Solo, acara kondang yang menyertai Muharram (Suro) dan sudah menjadi tradisi adalah kirab kerbau bule yang terkenal dengan nama Kyai Slamet di keraton Kasunanan Solo. Peristiwa ini sangat dinantikan oleh warga Solo dan sekitarnya, bahkan yang jauhpun rela bersusah-payah mendatanginya dengan jalan kaki, dst. Apa tujuannya ? Tiada lain, untuk ngalap berkah dari sang kerbau, supaya rejekinya lancar, dagangan laris, dan sebagainya. Naudzubillahi min dzalik. Padahal, dalam pandangan banyak orang, kerbau merupakan simbol kebodohan, sehingga muncul peribahasa Jawa untuk menggambarkannya, “bodo ela-elo koyo kebo”. Acara lainnya adalah jamasan pusaka dan kirab (diarak) keliling keraton.

Pembaca yang budiman, itulah sekelumit gambaran kepercayaan masyarakat khususnya Jawa terhadap bulan Muharram (Suro). Tahayul semacam ini, diwarisi dari zaman sebelumnya mulai animisme, dinamisme, hindu dan budha. Ketika Islam datang keyakinan-keyakinan tersebut masih kental menyertai perkembangannya. Bahkan terjadi sinkretisasi (pencampuran). Ini bisa dicermati pada sejarah kerajaan-kerajaan Islam di awal pertumbuhan dan perkembangan selanjutya, hingga dewasa ini ternyata masih menyisakan pengaruh tersebut. Lalu, apakah budaya seperti ini patut kita lestarikan ?
KOREKSI TERHADAP KEPERCAYAAN MASYARAKAT SEPUTAR MUHARRAM (SURO)

1. Keyakinan bahwa bulan Muharram adalah bulan sial. Seperti yang dianut orang Jawa sebagaimana kami paparkan di atas, dalam pembahasan ilmu agama Islam biasa disebut dengan Tathayyur ( تَطَيُّرْ ) atau Thiyarah ( طِيَرَةٌ ) yakni suatu anggapan bahwa suatu keberuntungan atau kesialan itu didasarkan pada kejadian tertentu, waktu, atau tempat tertentu.

Orang-orang jahiliyyah dahulu meyakini bahwa Tathayyur ini dapat mendatangkan manfaat atau menghilangkan mudharat. Setelah Islam datang, keyakinan ini dikategorikan kedalam perbuatan syirik yang harus dijauhi. Dan Islam datang untuk memurnikan kembali keyakinan bahwa segala sesuatu itu terjadi atas kehendak Allah Ta’ala dan membebaskan hati ini dari ketergantungan kepada selain-Nya. Allah Ta’ala berfirman, “Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al A’raf: 131)

Maka, seseorang yang meyakini bahwa barangsiapa yang mengadakan acara pernikahan atau hajatan yang lain pada bulan Muharram itu akan ditimpa kesialan dan musibah, maka orang tersebut telah terjatuh ke dalam kesyirikan kepada Allah Ta’ala. Rasulullah mengkabarkan hal tersebut dalam sabdanya ,

الطِّـيَرَةُ شِـرْكٌ

Artinya: “Thiyarah itu adalah kesyirikan.” (HR. Ahmad dan At Tirmidzi)

Parapembaca, ketahuilah bahwa perbuatan ini digolongkan ke dalam perbuatan syirik karena beberapa hal, yaitu:

a) Seseorang yang ber-thiyarah berarti dia meninggalkan tawakkalnya kepada Allah Ta’ala. Padahal tawakkal merupakan salah satu jenis ibadah yang Allah Ta’ala perintahkan kepada hamba-Nya. Segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi, semuanya di bawah pengaturan dan kehendak-Nya. Keselamatan, kesenangan, musibah, dan bencana, semuanya datang dari Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah Rabbku dan Rabbmu, tidak ada suatu makhluk pun melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya (menguasai sepenuhnya).” (QS. Hud: 56)

b) Seseorang yang bertathayyur berarti dia telah menggantungkan sesuatu kepada perkara yang tidak ada hakekatnya (tidak layak untuk dijadikan tempat bergantung). Ketika seseorang menggantungkan keselamatan atau kesialannya kepada bulan Muharram atau bulan-bulan yang lain, ketahuilah bahwa pada hakekatnya bulan Muharram itu tidak bisa mendatangkan manfaat atau menolak mudharat. Hanya Allah-lah satu-satunya tempat bergantung. Allah Ta’ala berfirman, “Allah adalah satu-satunya tempat bergantung.” (QS. Al Ikhlash: 2)

Orang yang ber-tathayyur tidaklah terlepas dari dua keadaan,

Pertama: meninggalkan semua perkara yang telah dia niatkan untuk dilakukan.

Kedua: melakukan apa yang dia niatkan namun di atas perasaan was-was dan khawatir.

Tidak diragukan lagi bahwa dua keadaan ini sama-sama mengurangi nilai tauhid yang ada pada dirinya.

2. Kemudian, keyakinan yang terkait dengan Kerbau Kiai Slamet, Jamasan, pusaka-pusaka tertentu dan sebaginya, ini merupakan keyakinan yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama Islam. Hal ini karena pelaku ngalap berkah yang seperti itu, mempunyai keyakinan bahwa ada dzat lain yang mampu mendatangkan keselamatan/berkah serta menolak bahaya selain Allah Ta’ala. Dalam Al-Qur’an Allah Ta’ala menerangkan,

“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka:”Siapakah yang menciptakan langit dan bumi”, niscaya mereka menjawab: “Allah”.Katakanlah:”Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya. Katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku”. Kepada-Nyalah bertawakkal orang-orang yang berserah diri’.’ (QS. Az-Zumar: 38)

Pembaca, ibadah apa pun bentuknya adalah haram diperuntukkan kepada selain Allah Ta’ala. Dan tawakkal, istighatsah (minta keselamatan), isti’anah (minta pertolongan), takut dan mengharap adalah ibadah, dan yang lain sebagainya dari macam-macam ibadah semuanya hanya untuk Allah Ta’ala. Inilah prinsip tauhid, yaitu memurnikan ibadah hanya kepada Allah Ta’ala semata, yang menjadi landasan paling mendasar di dalam Islam. Barangsiapa yang melanggarnya maka ia jatuh ke dalam kesyirikan. Kecil atau besar-nya kesyirikan tersebut tergantung jenis pelanggarannya.

Dan sudah merupakan prinsip agama ini bahwa Allah Ta’ala adalah satu-satunya Dzat yang berhak di-ibadahi. Setiap peribadahan kepada selain Allah Ta’ala adalah ibadah yang batil dan pelakunya terancam kekal di neraka jahannam apabila tidak bertaubat dari perbuatannya. Allah Ta’ala berfirman,

ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ

“(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Rabb) yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar”. (QS. Al Hajj: 62)

Barangsiapa yang menyelewengkan ibadah tersebut untuk selain Allah, maka ia adalah musyrik dan kafir. Firman Allah Ta’ala, “Dan barangsiapa menyembah sesembahan yang lain di samping (menyembah) Allah, padahal tidak ada satu dalilpun baginya tentang itu, maka benar-benar balasannya ada pada Tuhannya. Sungguh tiada beruntung orang-orang kafir itu.” (QS. Al-Mu’minun: 117).

Dan Allah Ta’ala menjelaskan bahwa pelaku kesyirikan kekal di neraka jahannam pada ayat-Nya,“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun”. (QS. Al Maidah: 72)

Maka, apakah patut kita samakan kekuasaan Allah Ta’ala Yang Maha Esa dengan makhluk yang lemah? Apalagi dengan hewan, keris, akik, dan batu, yang merupakan benda mati?

Kesimpulannya, bahwa bulan Muharram atau dikenal dengan Suro merupakan bulan yang mulia. Maka tidak sepantasnya apabila kaum muslimin mempunyai anggapan miring terhadapnya, dengan menjadikan sebagai bulan keramat. Sehingga menyeret mereka jatuh ke lembah kesyirikan, dengan melakukan acara-acara yang merupakan cerminan dari keyakinan mereka yang keliru. Akibatnya dosa yang disandang semakin banyak karena dilakukan pada bulan yang mulia.

Sumber: Buletin Istiqomah
http://www.mediasalaf.com
komentar | | Read More...

MUHARRAM DALAM PANDANGAN ISLAM

1. Muharram Adalah Bulan Yang Mulia. Allah Ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu”(QS. At-Taubah : 36)

Imam Ath-Thabari berkata, “Bulan itu ada dua belas, 4 diantaranya merupakan bulan haram (mulia), dimana orang-orang jahiliyah dahulu mengagungkan dan memuliakannya. Mereka mengharamkan peperangan pada bulan tersebut. Sampai seandainya ada seseorang bertemu dengan orang yang membunuh ayahnya maka dia tidak akan menyerangnya. Bulan yang empat itu adalah Rajab Mudhor, dan tiga bulan berurutan, yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. Dengan ini nyatalah khabar-khabar yang disabdakan oleh Rasulullah ”. Kemudian At-Thabari meriwayatkan beberapa hadits, diantaranya hadits dari sahabat Abu Bakrah , yang diriwayatkan Imam Bukhari (no. 4662), Rasulullah bersabda,

“Wahai manusia, sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana keadaan ketika Allah menciptakan langit dan bumi, dan sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ada dua belas bulan, diantaranya terdapat empat bulan haram, pertamanya adalah Rajab Mudhor, terletak antara Jumadal (akhir) dan Sya’ban, kemudian Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram” (Jami’ul Bayan 10/124-125)

Qotadah berkata, “Amalan shalih pada bulan haram pahalanya sangat agung dan perbuatan dhzalim di dalamnya merupakan kedhzaliman yang besar pula dibanding pada bulan selainnya, walaupun yang namanya kedhzaliman itu kapanpun merupakan dosa yang besar” (Ma’alimut Tanzil 4/44-45)

Pada bulan Muharram ini terdapat hari yang pada hari itu terjadi peristiwa yang besar dan pertolongan yang nyata, menangnya kebenaran mengalahkan kebathilan, dimana Allah Ta’ala telah menyelamatkan Nabi Musa ‘alaihis sallam dan kaumnya serta menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya. Hari tersebut mempunyai keutamaan yang agung dan kemuliaan yang abadi sejak dulu. Dia adalah hari kesepuluh yang dinamakan Asyura. (Durusun ‘Aamun, Abdul Malik Al-Qasim, hal.10)

2. Disyariatkan Puasa Asyura. Berdasarkan hadits-hadist berikut ini. “Dahulu Rasulullah memerintahkan untuk berpuasa Asyura, tatkala puasa Ramadhan diwajibkan, maka bagi siapa yang ingin berpuasa puasalah, dan siapa yang tidak ingin, tidak usah berpuasa” (HR. Bukhari no. 2001)

Tatkala Nabi hijrah ke Madinah beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari itu, lalu beliau bertanya kepada mereka, “Kenapa kalian berpuasa?” Mereka menjawab, “Sesungguhnya pada hari ini Allah Ta’ala telah menyelamatkan Musa dan kaumnya dan membinasakan Fir’aun beserta kaumnya. Dan Musa berpuasa pada harinya, maka kamipun berpuasa.” Kemudian beliau berkata, “Kami lebih berhak atas Musa daripada kalian.” (HR Bukhari no. 2004, Muslim no. 1130). Maka Nabi berpuasa pada hari itu dan memerintahkan untuk melakukan puasanya.

3. Keutamaan Puasa Asyura. Ibnu Abbas d ditanya tentang puasa Asyura, jawabnya, “Saya tidak mengetahui bahwa Rasulullah puasa pada hari yang paling dicari keutamaannya selain hari ini (Asyura) dan bulan Ramadhan” (HR. Bukhari no. 1902, Muslim no. 1132)

Puasa Asyura menghapus dosa setahun yang lalu, berdasarkan hadits berikut, “Rasulullah ditanya tentang puasa Asyura, jawab beliau , “Puasa Asyura menghapus dosa setahun yang lalu”(HR. Muslim no. 1162, Tirmidzi no. 752)

4. Asyura Adalah Hari Ke-10. dari Ibnu Abbas , tatkala Rasulullah berpuasa Asyura dan memerintahkan untuk berpuasa, para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashara”, Maka beliau bersabda, “Tahun depan insya Allah kita akan berpuasa hari ke-9”. Ibnu Abbas berkata, “Tahun berikutnya belum datang Rasulullah keburu meninggal” (HR. Muslim no. 1134)

Imam Nawawi berkata, “Jumhur ulama salaf dan khalaf berpendapat bahwa hari Asyura adalah hari ke-10. Yang berpendapat demikian diantaranya adalah Sa’id bin Musayyib, Al-Hasan Al-Bashri, Malik bin Anas, Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Rahawaih dan banyak lagi. Pendapat ini sesuai dengan (dzahir) teks hadits dan tuntutan lafadznya”. (Syarah Shahih Muslim 9/205)

Hanya saja Rasulullah berniat untuk berpuasa hari ke-9 sebagai penyelisihan terhadap ahlul kitab, setelah dikhabarkan kepada beliau bahwa hari tersebut diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nashara. Oleh karena itu Imam Nawawi berkata, “ Imam Syafi’i dan para sahabatnya, Ahmad, Ishaq dan selainnya berpendapat ; Disunnahkan untuk berpuasa hari ke-9 dan ke-10 karena Nabi berpuasa hari ke-10 serta berniat untuk puasa hari ke-9. Sebagian Ulama berkata, “Barangkali sebab puasa hari ke-9 bersama hari ke-10 adalah agar tidak menyerupai orang-orang Yahudi jika hanya berpuasa hari kesepuluh saja. Dan dalam hadits tersebut memang terdapat indikasi ka arah itu” (Syarah Shahih Muslim 9/205)

Selain ada yang berpendapat seperti diatas, sebagian ulama berpendapat hendaknya berpuasa satu hari sebelum dan sesudahnya berdasarkan hadits. Rasulullah bersabda, “Berpuasalah hari Asyura dan berbedalah dengan orang Yahudi, (dengan) berpuasalah 1 hari sebelumnya dan sesudahnya” (HR. Ahmad no. 2155).

Berdasarkan keterangan-keterangan di atas, sudah sepatutnya bagi seorang muslim yang baik untuk mengisi bulan Muharram ini dengan amal shalih, dan menjalankan ibadah puasa Asyura.

sumber : http://kaahil.wordpress.com
komentar | | Read More...

Keutamaan Puasa di Bulan Muharram

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ

“Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah (puasa) di bulan Allah (bulan) Muharram, dan shalat yang paling utama setelah shalat wajib (lima waktu) adalah shalat malam.“[1].

Hadits yang mulia ini menunjukkan dianjurkannya berpuasa pada bulan Muharram, bahkan puasa di bulan ini lebih utama dibandingkan bulan-bulan lainnya, setelah bulan Ramadhan[2].

Mutiara hikmah yang dapat kita petik dari hadits ini:

- Puasa yang paling utama dilakukan pada bulan Muharram adalah puasa ‘Aasyuura’ (puasa pada tanggal 10 Muharram), karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya dan memerintahkan para sahabat radhiyallahu ‘anhum untuk melakukannya[3], dan ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang keutamaannya beliau bersabda,

يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ

“Puasa ini menggugurkan (dosa-dosa) di tahun yang lalu“[4].


- Lebih utama lagi jika puasa tanggal 10 Muharram digandengankan dengan puasa tanggal 9 Muharram, dalam rangka menyelisihi orang-orang Yahudi dan Nashrani, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika disampaikan kepada beliau bahwa tanggal 10 Muharram adalah hari yang diagungkan orang-orang Yahudi dan Nashrani, maka beliau bersabda,

فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ – إِنْ شَاءَ اللَّهُ – صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ

“Kalau aku masih hidup tahun depan, maka sungguh aku akan berpuasa pada tanggal 9 Muharram (bersama 10 Muharram).” [5]


- Adapun hadits,

صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ صُومُوا قَبْلَهُ يَوْماً أَوْ بَعْدَهُ يَوْماً

“Berpuasalah pada hari ‘Aasyuura’ dan selisihilah orang-orang Yahudi, berpuasalah sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya.“[6], maka hadits ini lemah sanadnya dan tidak bisa dijadikan sebagai sandaran dianjurkannya berpuasa pada tanggal 11 Muharram[7].

- Sebagian ulama ada yang berpendapat di-makruh-kannya (tidak disukainya) berpuasa pada tanggal 10 Muharram saja, karena menyerupai orang-orang Yahudi, tapi ulama lain membolehkannya meskipun pahalanya tidak sesempurna jika digandengkan dengan puasa sehari sebelumnya[8].

- Sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan puasa tanggal 10 Muharram adalah karena pada hari itulah Allah Ta’ala menyelamatkan Nabi Musa álaihis salam dan umatnya, serta menenggelamkan Fir’aun dan bala tentaranya, maka Nabi Musa ‘alaihis salam pun berpuasa pada hari itu sebagai rasa syukur kepada-Nya, dan ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar orang-orang Yahudi berpuasa pada hari itu karena alasan ini, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ

“Kita lebih berhak (untuk mengikuti) Nabi Musa ‘alaihis salam daripada mereka“[9]. Kemudian untuk menyelisihi perbuatan orang-orang Yahudi, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk berpuasa tanggal 9 dan 10 Muharram[10].

- Hadits ini juga menunjukkan bahwa shalat malam adalah shalat yang paling besar keutamaannya setelah shalat wajib yang lima waktu[11].

***

Penulis: Ustadz Abdullah Taslim Al Buthoni, M.A.
Artikel www.muslim.or.id
komentar | | Read More...

Syarat Sah Qurban

Pelaksanaan penyembelihan hewan qurban telah diatur sedemikian rupa oleh syari’at Islam, mulai dari waktu, tempat, jenis-jenis hewan yang disembelih beserta umurnya dan kepada siapa daging kurban itu dibagikan, semua ini telah dijelaskan oleh para ulama’-ulama’ fiqih terdahulu.

Berbeda dengan penyembelihan hewan biasa yang tidak terikat dengan syarat-syarat tertentu sebagaimana hewan qurban, karena hal itu bisa dilakukan kapan saja, siapa saja dan untuk siapa saja dibagikan.

Udhiyyah atau berkurban termasuk salah satu syi'ar Islam yang agung dan termasuk bentuk ketaatan yang paling utama. Ia adalah syi'ar keikhlasan dalam beribadah kepada Allah semata, dan realisasi ketundukan kepada perintah dan larangan-Nya. Karenanya setiap muslim yang memiliki kelapangan rizki hendaknya ia berkurban.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,

مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا

"Barangsiapa yang memiliki kelapangan, sedangkan ia tidak berkurban, janganlah dekat-dekat musholla kami." (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan al-Hakim, namun hadits ini mauquf).

Diantara urusan kurban yang harus diketahui oleh seorang mudhahhi (orang yang hendak berkorban) adalah syarat-syaratnya. Apa yang harus dipenuhi oleh pengorban dari ibadah kurbannya:

Pertama, hewan kurban harus dari hewan ternak; yaitu unta, sapi, kambing atau domba. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala,

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ

"Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka." (QS. Al-Hajj: 34)

Bahimatul An'am: unta, kambing dan sapi, Ini yang dikenal oleh orang Arab sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Hasan, Qatadah, dan selainnya. Atau sejenis hewan sapi seperti kerbau karena hakikatnya sama dengan sapi juga diperbolehkan untuk berkurban, dengan demikian maka tidak sah berkurban dengan 100 ekor ayam, atau 500 ekor bebek dikarenakan tidak termasuk kategori Bahimatul An’am.

Kedua, usianya sudah mencapai umur minimal yang ditentukan syari'at.
Umur hewan ternak yang boleh dijadikan hewan kurban adalah seperti berikut ini;

Unta minimal berumur 5 tahun dan telah masuk tahun ke 6.
Sapi minimal berumur 2 tahun dan telah masuk tahun ke 3.
Kambing jenis domba atau biri-biri berumur 1 tahun, atau minimal berumur 6 bulan bagi yang sulit mendapatkan domba yang berumur 1 tahun. Sedangkan bagi kambing biasa (bukan jenis domba atau biri-biri, semisal kambing jawa), maka minimal berumur 1 tahun dan telah masuk tahun ke 2.

Sebagaimana terdapat dalam kitab Kifayatul Akhyar,

ويجزئ فيها الجذع من الضأن والثني من المعز والثني من الإبل والثني من البقر

Umur hewan kurban adalah Al-Jadza’u (Domba yang berumur 6 bulan-1 tahun), dan Al-Ma’iz (Kambing jawa yang berumur 1-2 tahun), dan Al-Ibil (Unta yang berumur 5-6 tahun), dan Al-Baqar (Sapi yang berumur 2-3 tahun).

Maka tidak sah melaksanakan kurban dengan hewan yang belum memenuhi kriteria umur sebagaimana disebutkan, entah itu unta, sapi maupun kambing. Karena syari’at telah menentukan standar minimal umur dari masing-masing jenis hewan kurban yang dimaksud, jika belum sampai pada umur yang telah ditentukan maka tidak sah berkurban dengan hewan tersebut, jika telah sampai pada umur atau bahkan lebih maka tidaklah mengapa, asalkan tidak terlalu tua sehingga dagingnya kurang begitu empuk untuk dimakan.

Ketiga, syarat yang harus dipenuhi orang yang berkurban adalah hewan kurban terbebas dari aib/cacat, sehingga bisa mengurangi kesempurnaan pelaksanaan ibadah kurban. Di dalam nash Hadits ada ada empat cacat yang disebutkan:

1.‘Aura’ (Buta sebelah) yang tampak terlihat jelas.
2.‘Arja’ (Kepincangan) yang tampak terlihat jelas.
3.Maridhah (Sakit) yang tampak terlihat jelas.
4.‘Ajfa’ (kekurusan yang membuat sungsum hilang).

Maka, Jika hewan kurban terkena salah satu atau lebih dari empat macam aib ini, maka hewan tersebut tidak sah dijadikan sebagai hewan kurban, dikarenakan belum memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh syari’at Islam.

Dari Al-Bara’ bin ‘Azib berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ditanya, ‘Apa yang harus dijauhi untuk hewan kurban?‘ Beliau memberikan isyarat dengan tangannya lantas bersabda: “Ada empat.” Barra’ lalu memberikan isyarat juga dengan tangannya dan berkata; “Tanganku lebih pendek daripada tangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:

الْعَرْجَاءُ الْبَيِّنُ ظَلْعُهَا وَالْعَوْرَاءُ الْبَيِّنُ عَوَرُهَا وَالْمَرِيضَةُ الْبَيِّنُ مَرَضُهَا وَالْعَجْفَاءُ الَّتِى لاَ تُنْقِى

"(empat perkara tersebut adalah) hewan yang jelas-jelas pincang kakinya, hewan yang jelas buta sebelah, hewan yang sakit dan hewan yang kurus tak bersumsum.” (H.R.Malik)

Dengan demikian seseorang yang akan berkurban hendaklah memilih hewan kurban yang memiliki kondisi fisik sehat, tidak dalam keadaan sakit, tidak pincang, tidak buta sebelah matanya dan tidak kurus tak bersumsum, karena alasan larangan empat kategori cacat hewan diatas adalah berkurangnya daging pada hewan kurban tersebut.

Selain empat cacat diatas, sebagian ulama’ ada yang menambahkan hewan kurban yang anggota badannya ada yang terpotong, misalnya kuping, ekor atau anggota badan yang lain, tidak sah menggunakan hewan tersebut sebagai kurban. Sedangkan untuk hewan yang patah tanduknya atau hewan yang belum tumbuh atau juga tidak bertanduk maka boleh dijadikan hewan kurban, karena hal ini tidak mengurangi daging hewan kurban, sebagaimana penjelasan dalam Kitab Kifayatul Akhyar,

ويجزئ مكسور القرن، وكذا الجلحاء وهي التي لم يخلق لها قرن، لأن ذلك كله لايؤثر في اللحم فأشبه الصوف

Cukuplah berkurban dengan hewan yang patah tanduknya, begitu juga hewan yang belum tumbuh atau tidak bertanduk, karena hal itu tidaklah berpengaruh pada daging hewan kurban, seperti halnya bulu.

Sumber: www.nu.or.id
(Pen. Fuad H. Basya/Red. Ulil H.)
komentar | | Read More...
 
Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Advertise with Us | Site map
Copyright © 2011. Love Islam . All Rights Reserved.
Design Template by panjz-online | Support by creating website | Powered by Blogger